Literasi Digital Era Post-Truth Dalam Rangka Menyongsong Pemilu 2024

Ilustrasi

Perkembangan internet telah mendorong perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dunia. Perkembangan itu membentuk kontruksi peradaban baru serta membawa beragam implikasi bagi kehidupan masyarakat ke arah serba digital.

Pada era digital saat ini telah membawa berbagai perubahan yang sangat signifikan dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya dan pertahanan keamanan, bahkan agama.

Berbagai hal kini dapat diakses melalui smartphone hanya dengan satu sentuhan jari saja semua informasi dapat diketahui dengan cepat sehingga pola kehidupan masyarakat berubah seiring berkembangnya  teknologi informasi dan komunikasi, salah satu perubahan yang terjadi adalah salah satunya munculnya ruang siber, ruang serber digital harus diperhatikan karena didalamnya muncul platform media baru, paltform media baru ini kemudian menyebar berita hoax, fake news dan hate speech yang dapat mempengaruhi ruang publik sehingga lahirlah post truth, demokrasi negara dapat terancam dengan lahirnya post truth, hal ini dikarenakan post truth, merupakan kebohongan yang diulang-ulang sehingga dianggap fakta.

Dengan hadirnya media baru (new media), membawa konsekuensi  pergeseran karakter masyarakat menjadi audience, masyarakat tidak lagi objek pasif, namun dapat berperan menjadi produsen informasi, masyarakat sebagai khalayak tidak lagi pada posisi objek yang dideterminasi media massa arus utama, tetapi lebih jauh dapat berperan memproduksi berita dan membentuk opini publik via  platform media sosial.

Melalui media sosial memungkinkan pengguna berinteraksi, berbagi dan berkomunikasi yang membentuk ikatan sosial secara virtual dalam masyarakat jejaring (network society) yang ditandai dengan munculnya jurnalisme warga (citizen journalism),  fenomena ini menempatkan media sosial sebagai garda terdepan dalam komunikasi model baru sekaligus berperan membentuk opini publik.

Saat ini, masyarakat semakin terdigitalisasi. Sulit rasanya menemukan masyarakat, khususnya di kota besar yang tidak memiliki akses internet di perangkat digitalnya. Keperluan pada internet tidak hanya milik orang kota atau kalangan eksekutif saja. Namun sudah menjalar, hingga ke pelosok pedesaan terutama di kalangan anak muda. Masyarakat sangat aktif dalam mengakses media digital, menggunakan paltfrom media sosial pada gadget dan smartphone milik mereka.

Menurut data Hootsuite tahun 2022 orang Indonesia mengakses media digital menghabiskan waktu yang bervariasi, rata-rata setiap hari dalam penggunaan internet: 8 jam, 36 menit (tahun 2021: 8 jam, 52 menit/turun 3%), waktu melihat televisi (broadcast, streaming dan video tentang permintaan): 2jam, 50 menit (sama dengan tahun sebelumnya), waktu menggunakan media sosial melalui perangkat apa pun: 3 jam, 17 menit, waktu menghabiskan mendapatkan musik: 1 jam, 30 menit (2021: 1 jam, 30 menit/naik 11,1%), waktu bermain game: 1 jam, 19 menit (2021: 1 jam, 16 menit/naik 3,9%).Platform media sosial yang banyak digunakan di Indonesia Tahun 2022,pengguna whatsapp di Indonesia sebanyak 88,7%, tahun sebelumnya 87,7%, pengguna instagram di Indonesia sebanyak 84,8% dari jumlah populasi, tahun sebelumnya 86,6%, pengguna facebook di Indonesia sebanyak 81,3% dari jumlah populasi, tahun sebelumnya 85,5%, pengguna tiktok di Indonesia sebanyak 63,1% dari jumlah populasi, tahun sebelumnya 38,7%.

Berbagai alasan masyarakat dalam penggunaan internetnya, menemukan informasi, menemukan ide-ide baru dan inspirasi, bisa berhubungan dengan teman dan keluarga, mengikuti berita dan kejadian terkini, menonton video, dan mengisi waktu luang.

Namun disisi lain pemanfaatan media sosial juga dapat kontra produktif, apabila ruang publik disesaki oleh informasi yangberseliweran melalui media sosial dengan hoax, informasi palsu (fake news) dan informasi keliru (falsenews) yang memiliki daya rusak yang dahsyat karena penyebarannya yang sangat cepat tanpa batas dan mampu membangkitkan emosi  yang sangat  kuat.

Dalam perkembangannya, penggunaan media sosial  sebagai garda terdepan dalam komunikasi model baru, tidak lagi hanya sekedar berperan sebagai kanal menyampaikan pesan dan menyerap informasi, tetapi lebih jauh  berperan dalam mempengaruhi persepsi  dan perilaku masyarkat, mempengaruhi dalam pengambilan keputusan, kelompok masyarakat dan turut andil dalam pengembangan kesadaran kolektif opini publik. Lebih ekstrim Aylin Manduric dalam tulisannya Sosial Media as a tool for information warfare menyatakan bahwa media sosial sebagai senjata pemusnah massal dan pemicu timbulnya konflik, berperan sebagai senjatakata-kata yang mempengaruhi hati dan pikiran masyarakat yang ditargetkan.

Hadirnya media baru juga telah melahirkan peradaban baru dalam komunikasi politik termasuk munculnya sejumlah terminologi baru seperti cyberdemocrary, cyberprotestdan new public sphere untuk tautan gagasan, pemikiran dan partisipasi politik. Fenomena komunikasi politik yang tidak lagi terbatas pada ruang-ruang fisik dengan melimpahnya informasi di dunia virtual. Menjadi dinamika tersediri bagi komunikasi politik yang digunakan para aktor politik.

Pelaksanaan pemilu DKI 2017, serta Pemilu dan Pilpres 2019 kita telah menyaksikan bagaimana politik elektoral telah menjadi arena dimana kebenaran dan kebohongan berkelindan dan membangun ketidakpastian politik. Pemilu telah mejadi arena politik post truth, ketika batas antara kebenaran dan kebohongan menjadi kabur.

Politik tidak lagi mengedepan wacana rasional, melainkan argumentasi bersifat emosional yang berakar pada ketakutan dan kekhawatiran. Akurasi dan fakta menjadi subordinat dari emosi dan preferensi personal. Kehadiran teknologi komunikasi digital berbasis internet yang memungkinkan sumber informasi tidak lagi terpusat di satu atau bebrapa titik saja, melainkan menyebar ada dimana-mana.

Sejumlah peristiwa politik ini menjadi gambaran bahwa ruang digital begitu berpengaruh dalam pola interaksi masyarakat terhadap pelaksanaan pemilu. Penggunaan media sosial untuk kampanye politik memang dilakukan oleh tim kampanye masing-masing kubu, termasuk relawan dan massa pendukung. Ruang siber menjadi medium yang efektif dan efesien untuk meraih dukungan publik, sekaligus sebagai alat untuk menarik perhatian dan menggiring opini publik. Pada saat yang sama, publik juga memanfaatkan ruang siber untuk memperoleh informasi politik sekaligus sebagai ruang untuk mengekspresikan dukungannya kepada kandidat yang dipilihnya.

Media sosial pada dasarnya memiliki peran penting dalam upaya menyebarkan pesan politik, memfasilitasi interaksi dan transaksi politik dan mampu membangun pengetahuan tentang berbagai isu politik yang kian berkembang. Terkait hal tersebut, media sosial juga bisa menjadi medium baru terkait pembentukan identitas kolektif yang bisa diakumulasikan guna mencapai suatu gerakan yang diharapkan bisa mencapai perubahan dalam masyarakat.

Meningkatnya partisipasi masyarakat dan mobilisasi politik di ruang silber memang telah menandai munculnya praktik politik baru dalam kehidupan berdemokrasi. Namun demikian, ruang siber juga menjadi ruang dimana praktik politik post-truth mendapatkan amplifikasi.

Polarisasi akibat perbedaan pilihan politik dan keberlimpahan informasi yang difasilitasi oleh platform media baru menjadi lahan subur bagi beragam bentuk disinformasi yang menyesatkan dan tidak jelas basis kebenarannya.

Produksi dan sirkulasi informasi yang dibuat-buat atau direkayasa untuk menutupi informasi yang sebenarnya. (hoax) , berita palsu (fake news), dan ujuran kebencian (hate speech) menjadi sulit dikendalikan dan pada akhirnya dapat mengancam praktik pemilu yang demokratis sebagaimana menjadi cita-cita bersama. Karena itu, praktik politik post-truth yang ditopang oleh banjir informasi diruang-ruang media telah menjadi ancaman serius bagi kehidupan berdemokrasi.

Kita telah menyaksikan bagaimana politik elektoral telah menjadi arena dimana kebenaran dan kebohongan berjamur dan membangun ketidakpastiaan politik. Indonesia telah menjadikan arena politik post-truth, ketika batas antara kebenaran dan kebohongan menjadi kabur.

Politik tidak lagi mengedepankan wacana rasional, melainkan argumentasi bersifat emosional yang berakar pada ketakutan dan kekhawatiran. Sementara hoax dan hate speech dapat tumbuh subur pada orang atau komunitas masyarakat yang mengdepankan emosional.

Mereka yang emosional dapat lebih mudah untuk diprovokasi melalui hoax dan hate speech dibandingan dengan mereka yang rasional. Kondisi ini tentu akan sangat berbahaya dalam Pemilu yang akan datang. Jika Pemilu tahun 2024 masuk era post-truth, kemudian hoax dan hate speech merajalela/menjamur maka akan sangat membahayakan Pemilu.

Hal ini mengakibatkan ketidakpastian dan memunculkan ketidakpercayaan publik pada negara maupun proses politik yang ada. Politik post-truth telah membajak prinsip freedom of expression dari sistem demokrasi untuk menebar kebohongan, kepalsuan dan ujaran kebencian, serta beragam informasi yang menyesatkan. Praktik disinformasi yang tidak jelas basis kebenarannya merupakan kemasan baru dari praktik propaganda yang digulirkan secara liar dengan dukungan platform media baru.

Budaya politik post-truth inilah yang akan menjadi tantangan pemilu tahun 2024 kedepan, suksesnya politik post-truth di Indonesia bukan hanya karena kurangnya edukasi dan literasi masyarakat Indonesia, tetapi pelaku utama dari basis elite politik dan pihak-pihak lain yang memiliki tujuan profit oriented dengan mengorbankan persatuan dan kesatuan masyarakat, hal ini mengingatkan kita semua pada rezim orde baru.

Kasus ini seakan memberikan tamparan kepada kita bahwa informasi dapat dengan mudah dimanipulasi dan diamplifikasi, bahkan oleh agen demokrasi. Alih-alih ruang untuk berpendapat dengan bebas, yang ada adalah ruang yang penuh dengan orang untuk dipengaruhi. Teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang pesat tidak secara sederhana sekedar menyederhanakan transparansi dan kebebasan berpendapat. Tetapi justru memberikan senajat bagi manipulasi informasi.

Untuk mewujudkan demokrasi elektoral yang sehat, mengedepankan proses politik yang free dan fair, dan berorientasi pada kepentingan publik. Untuk itu, semua pihak harus mampu “mengontrol” media. Ini telah menjadi salah satu tujuan penting literasi media.

Sebagaimana dikemukakan Potter (2011: 8), “Taking control is what media literacy is all about.” Dalam pandangan Potter, jika kita mempunyai literasi media yang baik maka akan memberikan perspektif yang lebih jelas untuk melihat batas-batas antara dunia nyata dan media.

Jika kita mampu membedakan antara realitas sosial dan realitas media, maka kita akan lebih mampu menggunakan media secara lebih kritis dan tidak mudah ‘dimanipulasi’. Kita ingat terjadi polarisasi sosial yang sangat tajam dan mengancam keutuhan masyarakat, baik pada masa kampanye, pencoblosan, maupun pasca pesta demokrasi, masyarakat Indonesia akan terperosok ke dalam jurang perpecahan.

Praktik-praktik bernuansa kebohongan, kepalsuan dan ujaran kebencian tampaknya akan terus membayangi praktik politik elektoral dengan bentuk dan teknik yang semakin canggih dengan cakupan yang semakin masif. Yang perlu kita lakukan bersama adalah terus mewaspadai berbagai praktik kebohongan, kepalsuan dan ujaran kebencian.

Jangan mudah terprovokasi dengan pemberitaan dengan clickbait yang sering berseliweran di timeline media sosial, menyaring setiap berita yang dibaca dengan pikiran yang tenang dan menggunakan logika berpikir kritis dengan mencari tahu sumber berita tersebut valid dengan mencari referensi lain mengenai bahasan yang sama atau dengan mencari media yang kredibilitasnya dapat dipercaya, bukan hanya konten berupa teks yang bisa dimanipulasi, melainkan juga konten lain berupa foto dan video, sehingga memprovokasi pembaca hal ini yang benar-benar harus diperhatikan dalam bermedia dengan mencermati setiap konten yang hadir di media sosial, serta mempersiapkan diri menghadapi serta mengantisipasi ancaman terhadap proses demokrasi yang sehat.

Salah satu indikator kualitas dan kredibilitas terselenggaranya pemilu damai dan demokrastis tercermin dari partisipasi semua stakeholder serta elit politik dalam berkomunikasi politik di ruang digital, tetap mempertahankan keragaman budaya Indonesia yang menghormati perbedaan dan menciptakan ruang debat yang sehat. Mengedepakan proses politik yang free dan fair dan berorientasi pada kepentingan publik. Dan juga pemerintah harus ikut andil dalam menjaga ruang siber demi menjaga keutuhan NKRI dalam menyukseskan pemilu damai dan demokrasi. Penulis: Mahfudh MA (Mahasiswa Pascasarjana Univeristas Sumatera Utara, Fisip Ilmu Komunikasi) Email : [email protected]

Berita Lain: