Pelepasliaran Harimau Sumatera “Putroe Kapho” Kembali ke Habitat Alaminya

Tim yang terdiri dari Balai KSDA Aceh (Seksi Konservasi Wilayah 2 Subulussalam, Resor KSDA Tapak Tuan, Resor KSDA Trumon, dan Tim Medis BKSDA Aceh), Balai Besar TNGL,Polres Aceh Selatan, UPTD KPH Wilayah 6, WCS-IP, dan FKL,melakukan pelepasliaran 1 individu harimau sumatera betina dengan perkiraan umur 1,5 –2 tahun ke kawasan Taman Nasional Gunung Leuser.

AV – Banda Aceh: Tim yang terdiri dari Balai KSDA Aceh (Seksi Konservasi Wilayah 2 Subulussalam, Resor KSDA Tapak Tuan, Resor KSDA Trumon, dan Tim
Medis BKSDA Aceh), Balai Besar TNGL, Polres Aceh Selatan, UPTD KPH Wilayah 6, WCS-IP, dan FKL, melakukan pelepasliaran 1 individu harimau sumatera betina dengan perkiraan umur 1,5 – 2 tahun ke kawasan Taman Nasional Gunung Leuser.

“Pemilihan lokasi Taman Nasional Gunung Leuser sebagai lokasi pelepasliaran setelah dilakukan survey dan kajian kelayakan daya dukung habitat bersama-sama dengan mitra yang meliputi antara lain kajian populasi, ketersedian pakan, dan ancaman habitat,” kata Kepala BKSDA Aceh Agus Arianto dalam keterangannya Kamis (17/11).

Individu harimau betina yang diberi nama “Putroe Kapho” yang mana dalam Bahasa Aceh “Putroe” berarti putri dan “Kapho” diambil dari nama Desa Gunung Kapho yang sebelumnya merupakan lokasi harimau sumatera tersebut dievakuasi pada tanggal 10 Nopember 2021.

Sebelum dievakuasi Putroe Kapho sering terlihat di beberapa desa antara lain Desa Seulekat, Desa Simpang, Desa Krueng Batee, Desa Gunung Kapho dan terakhir di Desa Panton Bili.

Dari beberapa kemunculannya, berdasarkan hasil rapat teknis bersama tim medis bahwa diduga harimau sumatera tersebut menunjukan adanya perilaku diluar kondisi normal, yaitu harimau tidak merasa terusik dengan kehadiran manusia yang ada di dekatnya sebagaimana rekaman video yang beredar dan sempat menjadi viral.

Dia menambahkan sebagai upaya pengamanan baik bagi masyarakat di sekitar dan harimau sumatera itu sendiri, BKSDA Aceh bersama mitra melakukan penyelamatan Putroe Kapho untuk dilakukan observasi di CRU Trumon.

“Dari hasil observasi dan pemeriksaan medis lengkap terhadap Putroe Kapho selama di CRU Trumon, harimau sumatera tersebut menunjukan kondisi sehat dan normal,” jelasnya.

Hal ini terlihat dari nafsu makan dan minum yang baik, tidak terdapat cacat fisik, dan respon terhadap lingkungan baik. Diagnosa lebih lanjut terhadap kesehatan harimau sumatera tersebut dilakukan juga pengambilan sampel darah (serum) dan swab (mulut dan mata) sebagai bahan untuk dilakukan pemeriksaan haematologi, tes covid, dan juga tes CDV (Canine Distamper Virus).

“Hasil pemeriksaan darah rutin dan kimia darah menunjukan kondisi harimau sumatera tersebut dalam kondisi normal dan sehat, hal ini juga terlihat dari hasil uji Covid-19 serta CDV menunjukan hasil negatif,” paparnya

Setelah melalui proses observasi dan pemeriksaan medis lengkap serta kajian kelayakan lokasi pelepasliaran, Putroe Kapho akhirnya dilepasliarkan kembali ke habitatnya, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser. Pada proses pelepasliaran, Putroe Kapho terlihat sangat bersemangat menyusuri kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Semoga Putroe Kapho dapat beradaptasi dengan cepat dan berkembang biak sehingga dapat menambah populasi
di alam.

Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan salah satu jenis satwa yang dilindungi di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018
tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar yang Dilindungi.

Berdasarkan The IUCN Red List of Threatened Species, satwa yang hanya ditemukan di Pulau Sumatera ini berstatus Critically Endangered atau spesies yang terancam kritis, beresiko tinggi untuk punah di alam liar.

BKSDA Aceh juga menyampaikan terima kasih atas dukungan semua pihak dalam rangka upaya penyelamatan harimau sumatera tersebut serta menghimbau kepada seluruh lapisan masyarakat untuk turut serta menjaga kelestarian habitatnya dengan cara tidak merusak hutan yang merupakan habitat berbagai jenis satwa.

“Masyarakat juga tidak menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup ataupun mati serta tidak memasang jerat, racun, pagar listrik tegangan tinggi yang dapat menyebabkan kematian satwa liar dilindungi yang dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” pungkasnya. (*)

Berita Lain: