Pencegahan Stunting Harus Terlibat Semua Pihak

Ilustrasi (krjogja.com)

AV-Banda Aceh: Berdasarkan hasil Studi Kasus Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021, prevalensi stunting di Indonesia berada di 24,4 persen. Angka ini mengalami penurunan 3,3 persen di tahun 2019 sebesar 27,7 persen.

Prevalensi stunting ini lebih baik dibandingkan Myanmar (35%), tetapi masih lebih tinggi dari Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%), dan Singapura (4%).  Saat ini, Indonesia menempati urutan kedua di Asia Tenggara dan keempat dunia dengan beban anak yang mengalami stunting.

Jika dirunut menurut 34 provinsi, Aceh merupakan salah satu daerah dengan kasus stunting tertinggi di Indonesia. “Prevalensi anak stunting di Aceh jauh di atas rata-rata nasional,” ujar Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Aceh, dr Sulasmi MHSM.

Dari data SSGI 2021, Aceh menempati posisi ketiga tertinggi setelah Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Barat di posisi pertama dan kedua. “Di Indonesia prevalensi stunting itu berada di 24,4 persen. Jadi kita jauh dari rata-rata nasional,” ucapnya.

Kabupaten Gayo Lues menjadi daerah prevalensi stunting tertinggi, 42,9 persen, disusul Kota Subulussalam 41,8 persen. Sementara Kota Banda Aceh (23,4%) dan Kota Sabang (23,8%) menjadi daerah dengan prevalensi terendah.

Stunting merupakan masalah kurang gizi kronis ini disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak.

Menurut dokter Sulasmi, stunting merupakan ancaman utama terhadap kualitas manusia Indonesia, juga ancaman terhadap kemampuan daya saing bangsa.

Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Aceh, dr Sulasmi MHSM.

Anak yang mengalami gizi kronis ditandai dengan tinggi badan yang lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya. Dokter Sulasmi mengatakan masalah ini merupakan tantangan besar bagi Aceh untuk menurunkan prevalensi stunting dan tentunya harus dilakukan dari lintas sektor.

Menurutnya, ada dua intervensi yang dilakukan untuk menurunkan prevalensi stunting, yakni intervensi sensitif dan intervensi spesifik. Dinas Kesehatan, hanya bisa melakukan dari segi intervensi spesifik dan hanya mampu mendongkrak 30 persen untuk menekan prevalensi anak stunting.

“Kalau intervensi sensitif itu dilakukan di luar sektor kesehatan, seperti sektor pertanian, pendidikan, keluarga berencana, PUPR, perekonomian, dan lain-lain,” ujar dr Sulasmi.

Sehingga, lanjut Kabid Kesmas Dinkes Aceh itu, jika ini kerja sama lintas sektor ini bisa terjalin dengan baik, dia sangat yakin intervensi sensitif ini dapat menekan angka hingga 70 persen.(*)

Berita Lain: